Jumat, 28 September 2012

Kawasan Rawan Bencana Gunung Api Marapi Sumbar

Gunung Api Marapi Sumatera Barat hingga saat ini belum ada peningkatan maupun penurunan status. Status GA. Marapi hingga saat ini menurut Kepala PVMBG Bapak Surono masih tetap dalam status WASPADA.

Peta KRB GA. Marapi Sumbar

  1. Klik Disini untuk mengunduh file Peta KRB GA. Marapi Sumbar (ukuran 3.753 x 5.001)
  2. Data Penduduk Wilayah Rawan Bencana GA. Marapi Sumatera Barat
  3. Profil GA. Marapi Sumatera Barat.

Kamis, 27 September 2012

Siklus Bencana, Prediksi Geologi dan Strategi Mitigasi


Makalah, PIT IAGI Ke-41 , Jogyakarta, 17-20 September 2012


Oleh : Danny Hilman Natawidjaja 1,2
1 LabEarth, Puslit Geoteknologi-LIPI
2 Tim Independen Studi Bencana Katastrofi Purba

SARI


Usaha pengurangan risiko bencana tanpa dipandu oleh pengetahuan siklus dan potensi bencana cenderung hanya memboroskan dana dan tidak tepat sasaran.  Paradigma responsif terhadap bencana yang sudah terjadi harus dirubah menjadi budaya preventif terhadap potensi bencana yang akan datang.  Siklus bencana besar mempunya rentang waktu sangat panjang sedangkan siklus bencana kecil lebih sering terjadi sehingga orang banyak mengabaikan ancaman bencana besar atau katastrofi. Tugas ahli geologi kebencanaan adalah meneliti potensi sumber-sumber bencana dan menggali data kejadian bencana di masa lalu untuk dijadikan pelajaran.  Berbagai kejadian bencana  yang terjadi di Aceh, Padang, Jogyakarta dan banyak daerah lainnya mengindikasikan bahwa  ‘kearifan lokal’ yang sering dijagokan untuk menjadi panglima dalam membangun kesadaran dan ketahanan masyarakat terhadap ancaman bencana kenyataannya sudah banyak dilupakan.  Oleh karena itu perlu digali dan dibangkitkan lagi dengan program penelitian dan pendidikan yang serius dan komprehensif.  Kalau tidak maka konsep kearifan lokal ini akan menjadi pepesan kosong belaka.

LATAR BELAKANG

Mitigasi bencana alam membutuhkan manajemen dan strategi yang spesifik untuk setiap wilayah.   Mitigasi bencana dapat dikatagorikan untuk dua hal, yaitu: Usaha pengurangan risiko pra-kejadian dan  usaha mempersiapkan penanggulangan pasca kejadian.  Dua hal ini harus dilakukan secara paralel dalam mitigasi bencana.  Namun persiapan pasca kejadian sebaiknya dipandu oleh pengetahuan yang cukup tentang potensi bencana diberbagai wilayah, khususnya untuk melakukan prioritas.  Dalam makalah ini pembahasan akan difokuskan ke hal yang pertama, yaitu usaha mitigasi pra-kejadian dari sudut pandang pemanfaatan sains dan teknologi di bidang ilmu geologi/kebumian, khususnya untuk bencana-bencana yang besar (katastrofi).
Manajemen bencana tidak akan terlepas dari keharusan mengidentifikasi sumber-sumber ancaman/bencana terlebih dahulu.  Identifikasi sumber bahaya adalah hal mendasar yang harus dilakukan dengan sebaik mungkin.  Tanpa mengetahui sumber bahaya serta tingkat ancaman dan risikonya terhadap manusia maka akan sukar untuk melakukan mitigasi dan manajemen bencana dengan tepat dan efisien.  Contoh nyata dari peran penelitian geologi kebencanaan untuk mitigasi adalah kasus Padang - Sumatra Barat.  Tanpa didahului penelitian sumber bencana (gempa) dan diseminasi hasil penelitiannya ke masyarakat maka mustahil terjadi berbagai usaha mitigasi bencana seperti sekarang ini.
Hasil identifikasi potensi bencana yang baik dan rinci serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah adalah modal utama untuk meyakinkan masyarakat dan para pemangku kepentingan bergerak bersama-sama dalam mengantisipasi ancaman bencana tersebut.  Karena walaupun potensi bencana ini sudah diidentifikasi dan diprediksi dengan namun tetap membutuhkan usaha dan proses yang cukup panjang untuk menggulirkan tindakan nyata dari pengurangan risiko bencana.  Masih perlu waktu dan usaha yang tidak sedikit untuk menterjemahkan hasil identifikasi dan prediksi sumber bencana tersebut menjadi berbagai keperluan praktis, seperti peta kebencanaan untuk masyarakat, usaha menyiapkan jalur evakuasi dan pelatihan-pelatihan, rencana menyiapkan shelter-shelter, dan modul-modul pendidikan masyarakat.  Jadi, akan lebih sulit lagi untuk melakukan mitigasi bencana  apabila potensi sumber bencananya saja belum diteliti dengan baik.
Bencana alam ada yang berskala sangat besar (katastrofi), besar, sedang, dan kecil.  Semuanya mempunyai siklusnya masing-masing.  Hal ini berlaku umum untuk semua jenis sumber bencana, termasuk: gempabumi, gunung api, banjir dan longsor.  Bencana dengan magnitudo/skala  besar biasanya  mempunyai siklus perulangan yang panjang atau frekuensi kejadian yang jarang, sebaliknya bencana berskala kecil akan lebih sering terjadi.  Sering orang ‘tertipu’ dengan hanya mengantisipasi prediksi bencana yang berskala kecil, karena hal ini yang biasanya diketahui dengan baik, tapi melupakan bencana besar yang belum pernah terjadi atau sudah ‘terlupakan’ karena kejadian terakhirnya sudah lama sekali sehingga hilang atau tidak tercatat dalam sejarah.  Oleh karena itu diperlukan usaha penelitian yang serius untuk dapat mendapatkan fakta-fakta tentang kejadian bencana katastropik di masa lalu tersebut sehingga ancaman besar ini dapat dimasukkan dalam agenda mitigasi bencana.  Hal yang perlu dikaji tidak hanya proses dan kejadian alamnya saja tapi akan lebih baik lagi apabila dapat diketahui juga tentang dampak dari kejadian-kejadian bencana besar itu terhadap masyarakat pada waktu itu sehingga dapat mengambil manfaat dari aspek ‘kearifan lokal’ dari pengalaman masa lalu itu.

‘KEARIFAN LOKAL’ YANG TERABAIKAN

Bencana besar tsunami di wilayah Aceh-Andaman pada bulan Desember 2004 adalah contoh nyata bagaimana orang, termasuk para ahli gempa dan tsunami, mengabaikan potensi mega-tsunami ini.  Hal ini terutama disebabkan karena dalam sejarah memang tidak pernah terjadi gempa-tsunami yang mencapai skala 9 (Meltzner, K.Sieh et al. 2005; Subarya, Chlieh et al. 2006; Chlieh, Avouac et al. 2007).  Potensi bencana yang diabaikan ini divalidasi oleh konsep gempa yang diyakini oleh banyak ahli pra-gempa Aceh 2004 bahwa kondisi tektonik di wilayah ini dianggap tidak berpotensi menghasilkan gempa berskala sangat besar.  Kejadian bencana gempa-tsunami Aceh tahun 2004 kemudian merubah drastis paradigma konsep potensi gempa ini dan juga menyadarkan orang akan perlunya penelitian yang lebih mendalam serta persiapan yang lebih serius untuk mencegah hal serupa terjadi lagi di masa datang, termasuk maraknya pembangunan sistem peringatan dini tsunami.  Walaupun setelah itu, kejadian bencana tsunami dahsyat di Sendai, Jepang  tahun 2011, di negara adijaya yang punya banyak ahli gempa-tsunami, kembali mengguncang dunia. Kali ini telak menampar para ahli gempa dan tsunami di sana.  Sebenarnya bukan tidak ada penelitian tentang potensi tsunami yang ekstrim ini namun pemangku kepentingan kebetulan lebih condong kepada skenario bencana gempa-tsunami yang moderat dan sudah sering terjadi untuk diimplementasikan kepada persiapan mitigasinya.
Selamatnya masyarakat di Pulau Simelue adalah bukti nyata bagaimana kearifan lokal dari masa lalu dapat sangat berperan.  Namun orang harus paham bahwa kearifan lokal tentang “SMONG”, istilah tsunami untuk orang Simelue, masih hidup di masyarakat karena kejadian bencana tsunami besar terakhir di wilayah ini belum begitu lama, yaitu tahun 1907 sehingga belum terlupakan meskipun  tidak  ada usaha untuk menggali dan mengembangkan kearifan lokal ini.  Banyak orang tidak tahu bahwa tinggi tsunami pada tahun 1907 di pesisir barat Simelue dua kali lebih besar dari yang terjadi tahun 2004 (Natawidjaja, Latief et al. 2007), sehingga menurut penuturan penduduk setempat apabila besar tsunami tahun 2004 sama dengan yang tahun 1907 besar kemungkinan akan tetap banyak makan korban.  Masyarakat Banda Aceh tidak seberuntung Simelue karena mereka sama sekali tidak menyadari ancaman tsunami ini.  Hal ini diperparah lagi oleh peta bahaya tsunami yang dipublikasi menunjukan potensi tsunami di Banda Aceh tidak lebih dari dua meter. Padahal sebenarnya ada ingatan masyarakat tentang IEU BEUNA yang mengindikasikan tentang bencana ‘banjir besar’ di masa lalu tapi orang sudah tidak tahu lagi maknanya karena kejadiannya sudah sangat lama.  Andaikan saja  ada penelitian yang menggali tentang kearifan dari pengalaman di masa lalu tersebut maka boleh jadi korbannya akan jauh lebih sedikit (Natawidjaja 2012).

PREDIKSI BENCANA GEOLOGI

 Mitigasi bencana seyogyanya dimulai dengan prediksi potensi bencana.  Prediksi bencana ada dua macam: Prediksi Jangka Panjang dan Prediksi Jangka pendek.  Metoda dan obyek penelitian dari dua jenis prediksi ini adalah dua disiplin keilmuan yang berbeda.  Prediksi jangka panjang meneliti karakteristik dan siklus dari sumber bencana sedangkan prediksi jangka pendek fokus kepada fenomena “precursor” kejadian atau tanda-tanda atau anomali-anomali alam yang terjadi sebelum bencana besar datang. Prediksi jangka panjang memperkirakan kemungkinan terjadinya bencana di masa datang dengan meneliti karakteristik dan perioda ulang siklusnya serta bukti tentang kejadian-kejadian bencana di masa lalu, terutama kapan kejadian terakhir dari bencana besarnya.  Jadi prinsipnya sederhana: dengan memahami karakter, pola dan selang waktu siklus serta mengetahui kejadian terakhirnya maka orang dapat membuat prediksi tentang kemungkinan terjadi bencana besar berikutnya.  Prediksi bencana jangka pendek, yaitu perkiraan hari ‘H’ dari bencana besar, masih sulit untuk dilakukan, terutama untuk gempa, dan juga masih sedikit yang sudah dapat diaplikasikan kedalam tindakan mitigasi praktis.  Selain itu penelitian prediksi jangka pendek hanya dapat dilakukan apabila orang sudah  paham terlebih prediksi jangka panjang (atau siklusnya) dari sumber bencana yang bersangkutan.  Yang biasa diaplikasikan dalam mitigasi bencana diseluruh dunia adalah prediksi jangka panjang.  Peta-peta bahaya dan risiko bencana dibuat berdasarkan hasil prediksi bencana jangka panjang ini.

SIKLUS BENCANA

Gempa, letusan gunung api, banjir dan lainnya mempunyai siklus.  Ada siklus kecil dan ada siklus besar.  Siklus bencana alam diketahui dengan meneliti ‘jejak’ kejadiannya di masa lalu.  Umumnya siklus bencana besar sangat panjang, ratusan bahkan ribuan sampai puluhan atau ratusan ribu tahun.  Sehingga datanya harus dicari dari bukti-bukti rekaman alam, tidak hanya bersandar pada catatan sejarah atau rekaman peralatan monitoring yang terbatas saja.  Untuk Indonesia, catatan tentang kejadian bencana, hanya sampai seratus hingga tiga ratus tahun ke belakang.  Sejarah dan catatan sebelum tahun 1700 Masehi sangat langka dan biasanya sangat sedikit informasinya.  Sejarah  kejadian bencana sebelum tahun 1500 M hampir tidak ada, padahal wilayah Nusantara adalah “hot spot” dunia untuk sumber bencana alam, khususnya gempabumi dan letusan gunung api (Latief 2007) .  Oleh karena itu sepertinya bangsa Indonesia menderita amnesia dari kejadian bencana-bencana besar yang pernah menimpa masyarakat di masa lalu.

Contoh dari hasil penelitian siklus bencana adalah siklus gempa bumi besar dari rekaman terumbu karang mikroatol di pantai barat Sumatra dan pulau-pulau di busur luarnya, termasuk Mentawai, Batu, Nias, dan Simelue (Natawidjaja, K.Sieh et al. 2004; Natawidjaja, K.Sieh et al. 2006; Natawidjaja, K. Sieh et al. 2007; Sieh, Natawidjaja et al. 2008 in press).  Studi ini berhasil mengungkapkan siklus gempa besar yang terjadi dalam 700 hingga 1000 tahun terakhir di megathrust segmen Mentawai (Gbr. 1).  Data menunjukkan bahwa telah terjadi (perioda) gempa besar pada tahun 1000-an Masehi, Tahun 1300-an, tahun 1600-an dan tahun 1800-an Masehi (Gbr.2).  Yang masih tercatat dalam sejarah adalah gempa tahun 1800-an, yang terjadi dua kali, yaitu tahun 1797 (Mw 8.7) dan 1833 (Mw 8.9) walaupun catatannya sangat sedikit (Natawidjaja, K.Sieh et al. 2006).  Hal ini disebabkan karena pada waktu tahun 1797 populasi penduduk di Kota Padang tidak lebih dari 10 ribu orang dan pada waktu tahun 1833 masih belum lebih dari 15.000 orang, sehingga korbannya tidak banyak.  Jadi dapat dipahami kenapa  pengalaman ini tidak berbekas dalam ingatan masyarakat, terlebih lagi karena masyarakat yang sekarang kebanyakan adalah penduduk yang datang kemudian.

Gambar 1.  Gempa – gempa “megathrust” di wilayah Sumatra-Andaman (Natawidjaja, Latief et al. 2007)


Gambar 2. Siklus gempa besar “megathrust” di segmen Mentawai, Sumatra Barat dalam 700 tahun terakhir dari data koral-paleogeodesi di tiga lokasi di Pulau Pagai.


Siklus gempa untuk masing-masing segmen patahan berbeda satu sama lainnya, bahkan bisa sangat kontras seperti di Pulau Simelue dimana bagian selatannya berada di atas segmen Megathrust Nias-Simelue yang mempunyai karakteristik gempa besar (M8+) dengan perioda ulang sekitar 200 tahunan, sedangkan bagian utara Pulau Simelue termasuk wilayah dari Segmen megathrust Aceh-Andaman yang mempunya siklus gempa sangat besar (M9+) dengan perioda ulang sekitar 500-600 tahunan (Gbr.3).  Dari catatan sejarah kita tahu bahwa gempa yang setara dengan gempa besar tahun 2005 (Mw 8.6) di Nias-Simelue pernah juga terjadi pada tahun 1861.  Tidak ada catatan sejarah gempa besar yang setara gempa tahun 2004 untuk segmen Aceh-Andaman.  Tapi, hasil penelitian paleogeodesi-koral mikroatol menunjukkan bahwa ternyata pernah terjadi gempa-tsunami besar pada tahun 1390 M dan 1450 M.  Pengangkatan yang terjadi di utara Pulau Simelue pada waktu gempa tahun 1450 bahkan dua kali lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi pada waktu gempa tahun 2004.  Jadi selang waktu antara gempa terdahulu dengan gempa 2004 adalah sekitar 550 tahunan.  Fakta geologi ini sesuai dengan perhitungan model elastik dislokasi (akumualsi dan pelepasan energi regangan) dari studi GPS bahwa perioda gempa setara Mw 9.2 di wilayah ini adalah sekitar 550 – 600 tahunan (Chlieh, Avouac et al. 2007).  Beberapa data pengangkatan koral mikroatol juga mengindikasikan terjadinya gempa besar sebelumnya sekitar tahun 960 M (Meltzner 2012) .  Tentu menarik untuk dikaji apa dampak dari bencana gempa-tsunami purba ini terhadap masyarakat Aceh pada masa lalu itu.  Apakah istilah IEU BEUNA berasal dari peristiwa bencana tsunami lalu pada Abad 15 atau sejak Abad 10?

Gambar 3.  Data pengangkatan dari gempa-gempa besar yang terjadi di masa lalu dari data koral mikroatol dan hasil anailsa kontur pengangkatan yang terjadi pada waktu gempa 2004 (Mw9.2) dan 2005 (Mw8.6) di Pulau Simelue, juga dari data koral mikroatol yang terangkat oleh dua gempa besar tersebut.


Dengan prinsip dan metoda yang sudah diterapkan untuk segmen Mentawai maka dari data-data pengangkatan koral di wilayah Aceh dapat disusun rekonstruksi siklus gempa besar seperti terlihat pada Gambar 4 di bawah.  Yang menjadi acuan siklus gempa besar ini adalah data paleogeodesi atau turun naiknya muka bumi di wilayah Simulue utara berdasarkan data pengangkatan terumbu karang.  Gempa megathrust di wilayah ini mempunyai siklus gempa sangat besar disebut sebagai “earthquake supercycles”.   Ada indikasi bahwa satu masa pelepasan akumulasi energi dikeluarkan oleh lebih dari satu gempa besar seperti yang terjadi pada tahun 1390 dan 1450 M.  Hal yang serupa juga terjadi di segmen zona subduksi di wilayah Mentawai (Sieh dkk, 2008; Natawidjaja dkk, 2006). 

Yang sangat menarik, apabila siklus gempa-tsunami ini dikaitkan dengan sejarah Aceh. Kerajaan Samudra Pasai sepertinya menghilang dari sejarah secara misterius setelah pemerintahan Sultan Abu Zaid Malik az-Zahir (1412 – 1455).  Menurut beberapa sumber mungkin masih ada beberapa sultan setelah Abu Zaid tapi sepertinya tidak ada aktifitas berarti, terutama menyangkut berita hubungan ke luar negeri.  Lebih menarik lagi bahwa pada tahun 1496 muncul kerajaan yang sama sekali baru, bukan kelanjutan dari Samudra Pasai, yaitu Kesultanan Aceh Darussalam.  Tidak seperti sebelumnya, kesultanan baru ini hubungan dan pencampuran kebudayaan dengan Asia (India, Arab, Cina) kelihatannya lebih intens.  Bangsa Asing (Portugis) juga mulai masuk dan berperan setelah Samudra Pasai menghilang.  Oleh karena itu sangat patut dicurigai bahwa keruntuhan Samudra Pasai boleh jadi erat kaitannya dengan bencana tsunami sangat besar yang terjadi tahun sekitar tahun 1450 M tersebut.  Fakta bahwa pemerintahan Sultan Zain al -Abidin Malik az Zahir (1383 – 1405) sepertinya baik-baik saja dan juga tiga kali kedatangan Laksamana Cheng-Ho pada tahun 1405, 1408, dan 1412 pada masa Sultan Shalahuddin (1405 – 1412) tidak memberitakan ada bencana besar mengindikasikan bahwa bencana gempa-tsunami tahun 1390-an tidak sebesar yang terjadi tahun 1450-an, dan ini memang cocok dengan data koral di utara Simelue yang memperlihatkan bahwa pengangkatan gempa 1390 jauh lebih kecil dibanding dengan 1450 (Gbr. 4).

Apabila benar bahwa bencana gempa-tsunami yang memisahkan Zaman Samudra Pasai dan Aceh Darussalam maka mulai terkuak kenapa jejak-jejak sejarah sebelum Aceh Darussalam ini seolah-olah hilang ditelan bumi, sedikit sekali yang tersisa. Ada beberapa jejak bangunan purba yang sekarang berada di bawah zona pasang surut di utara Banda Aceh, termasuk Makam Para Raja di Ujung Pancu/ Lhok Lambaro (McKinnon 1988).  Sebuah makam para raja biasanya di tempat tinggi. Jadi fakta bahwa makam itu sekarang ada di bawah air menandakan bahwa lokasi ini mengalami penurunan (tektonik) yang sangat cepat.  Hal ini memang cocok dengan kondisi tektoniknya karena lokasi ini berada pada zona “transtensional” besar dari Patahan Sumatra.  Di zona pasang-surut di dekat makam ini pernah juga dilaporkan ada bekas fondasi bangunan besar yang diduga bekas sebuah mesjid kuno, kemungkinan berasal dari zaman Pasai atau sebelumnya.  Singkat kata, jejak-jejak peradaban Pasai dan sebelumnya kemungkinan besar  musnah dihancurkan gelombang tsunami dan sekarang banyak tertimbun di perairan dangkal atau sudah ditutupi oleh  sedimen pantai yang tebal.  Fakta lain yang menarik adalah catatan Ibnu Batutta yang datang tahun 1345 tentang gambaran Kota Tua di lokasi Banda Aceh sekarang yang dikitari oleh beberapa lapis benteng tembok.  Pertanyaannya kenapa kota tua yang indah dan megah ini seolah-olah hilang jejaknya ditelan bumi, termasuk benteng-benteng yang mengitari kota-nya.  Apakah karena dihancur leburkan oleh Portugis dan Belanda atau oleh tsunami?

Setelah gempa Mw 9.2 memang sudah terjadi banyak sekali gempa-gempa sedang dan kecil yang mengikutinya.  Namun menurut perhitungan banyaknya akumulasi energi gempa sejak gempa 1390 dan 1450 kemungkinan masih ada simpanan gempa yang cukup besar di wilayah utara Pulau Simelue, sehingga hal ini tetap harus diwaspadai(Gbr.5) .  Segmen lain yang perlu diteliti adalah yang diduga menjadi sumber dari gempa tahun 1907.  Tipe gempa tahun 1907 adalah sama dengan gempa September 2010 yang bersumber di barat Pulau Pagai Selatan.  Gempa tipe ini biasa disebut sebagai “slow earthquake” atau “tsunami earthquake” karena walauoun magnitudenya tidak besaar tapi pergerakan patahannya sangat besar sehingga dapat membangkitkan tsunami yang besar.

Gambar 4.  Siklus Mega Gempa-Tsunami dalam konteksnya dalam Sejarah Aceh.  Bencana besar tsunami tahun 1450-an diduga berperan dalam keruntuhan Samudra Pasai.

Gambar 5.  Potensi gempa besar berikutnya di wilayah Aceh. Dari perhitungan besar akumulasi energi yang terkumpul dan yang sudah dilepaskan saat gempa tahun 2004 diduga bahwa segmen megathrust di wilayah yang berwarna biru di utara Simelue masih menyimpan energi gempa yang cukup besar.

Daratan Pulau Jawa tidak luput dari jalur-jalur patahan gempa.  Dalam catatan sejarah banyak sudah gempa-gempa yang merusak terjadi (Gbr.6).  Salah satu diantaranya adalah gempa tahun 1857 di wilayah selatan Jogyakarta yang mengakibatkan kerusakan yang tidak sedikit dan korban jiwa sampai 500 orang.  Catatan yang dibuat pada zaman belanda cukup rinci menjelaskan dampak dari gempa ini.  Diceritakan, setelah bencana, Sri Sultan mengatakan bahwa bencana gempa tersebut memang tragedi besar namun beliau membesarkan hati masyarakat bahwa bencana itu hanya terjadi sekali dan tidak akan pernah terjadi lagi sehingga sebaiknya dikubur saja dalam-dalam memori yang menyakitkan itu, tidak perlu diingat-ingat lagi.  Masyarakat patuh dan kelihatannya memang melupakan tragedi masa lalu itu.  Yang dikatakan Sri Sultan memang benar, sampai gempa kembali menghantam lagi pada bulan Juli 2006 di wilayah yang kurang lebih sama dengan gempa tahun 1857 (Gbr. 7) tapi membuat korban jiwa 10 kali lipat lebih banyak.  Dua bulan kemudian gempa Bantul ini disusul oleh gempa yang lebih besar di lepas pantai Pangandaran yang membangkitkan tsunami cukup besar (Gbr.7) sehingga mengakibatkan kerusakan yang cukup banyak di sepanjang pantai selatan Jawa.  Setelah gempa-tsunami Pangandaran tahun 2006 sumber gempa megathrust di selatan jawa diduga masih menyimpan energi gempa yang besar, khususnya di segmen yang berstatus sebagai “seismic gap” atau segmen patahan gempa yang sudah lama mengakumulasi energi gempa dan belum dilepaskan.

Gambar 6. Peta sejarah gempa-gempa merusak di Jawa sejak tahun 1850 dari berbagai sumber.  Gempa Jogya tahun 1867 dan Gempa Jogya tahun 2006 mempunyai wilayah kerusakan yang sama karena itu kemungkinan berasal dari jalur patahan aktif yang sama.

Gambar 7. Peta kegempaan di Pulau Jawa sejak tahun 1973 (sumber data: NEIC-USGS catalog 1973-2006) memperlihatkan aktifitas kegempaan pada patahan aktif di daratan dan patahan zona subduksi.  Wilayah “seismic gap” diantara wilayah gempa Pangandaran Juli 2006 dan gempa tahun 1994 di  Pancer Jawa Timur dan juga di sebelah barat gempa Pangandaran bisa ditafsirkan sebagai ”seismic gap” yang berpotensi untuk mengeluarkan gempa besar di masa datang.


Seperti halnya gempa, gunung api pun mempunyai siklus.  Letusan besar gunung api mempunyai siklus ratusan sampai ribuan tahun, bahkan untuk yang super besar siklusnya bisa puluhan ribu bahkan ratusan ribu tahun.  Letusan Toba purba yang terjadi sekitar 73.000 tahun lalu adalah super erupsi yang paling terkenal dan sangat fenomenal.  Super-erupsi ini menyebabkan dunia mengalami masa “volcanic winter” selama 6-10 tahun, bahkan dunia masih terus mendingin selama 1000 tahun berikutnya  (Rampino 1992).  Bencana gunung api katastrofi ini juga diduga menyebabkan kepunahan manusia sampai hanya tersisa beberapa ribu pasang saja (Rampino 1993).  Dari penelitian yang dilakukan LIPI dan Australian National University baru-baru ini didapat data analisa oksigen dan karbon isotop dari stalagtit dan stalagmit di dalam goa gamping di Flores yang mengindikasikan bahwa ketika terjadi letusan Toba tersebut seluruh ekosistem di Indonesia rusak total (Gagan 2012)

Sampai saat ini data karakteristik dan siklus letusan dari banyak gunung api di Indonesia masih sangat minim.  Penelitian yang sudah dilakukan masih berfokus hanya pada monitoring aktivitas vulkanik yang sedang terjadi.  Data letusan di masa lampau umumnya masih terbatas hanya sampai tahun 1600 Masehi, itupun sangat tidak komplit.  Penelitian masih sedikit yang diarahkan untuk mengerti tentang karakteristik, struktur magma aktif di bawah dan siklus proses gunung api dalam rentang waktu yang lebih panjang.  Oleh karena itu akan sangat sukar untuk mampu membuat prediksi mana diantara gunung api yang tersebar di wilayah Nusantara yang berpotensi untuk memuntahkan erupsi besar atau bahkan super besar dalam kurun waktu sekarang dan akan datang.  Padahal apabila terjadi letusan sebesar Tambora 1815 misalnya, dapat dibayangkan bagaimana dampaknya kepada Indonesia bahkan seluruh dunia.

Letusan Tambora tahun 1815 adalah letusan gunung api terbesar di dunia setelah letusan Gunung Taupo di New Zealand pada tahun 181 Masehi sampai sekarang
(Stothers 1984). Letusan yang juga membangkitkan tsunami ini membunuh sekitar 11.000 orang secara langsung dan 60.000 jiwa di Indonesia karena dampak letusannya (Oppenheimer).  Di badan gunung api ditemukan ada reruntuhan Kerajaan yang tertimbun dibawah endapan piroklastinya, seperti peristiwa Pompeei di Eropa.  Setelah letusan ini dunia mengalami “Year without Summer” karena atmosfer dunia terbungkus oleh awan debu muntahannya.  Akibatnya suhu bumi turun tiba-tiba dan banyak panen yang gagal di berbagai pelosok dunia sehingga.  Selain itu perubahan iklim tiba-tiba inipun memicu timbulnya wabah penyakit di Eropa.  Rangkaian dari dampak letusan ini berakibat korban sampai jutaan jiwa. Abu dari Gunung Tambora sampai keperairan Mentawai seperti terlihat pada rekaman koral mikroatol di Mentawai (Gbr. 7).  Dampak letusan ini membuat banyak terumbu karang mati.  Sebelum 1815 Gunung Tambora diketahui sudah tiga kali meletus  pada  tahun 3910 SM ± 200 tahun, 3050 SM dan 740 ± 150 tahun, tetapi besarnya letusan tidak diketahui pasti (http//www.volcano.si.edu/world/volcano).  Debu dari letusan Tambora ini sampai ke perairan Mentawai sehingga terekam dalam pertumbuhan terumbu karang – mikroatol (Gbr.8).

Gambar 7.  Slab koral mikroatol dari Siruamata Pulau Sipora di Kep.Mentawai memperlihatkan rekaman “uplift” gempa 1797.  Analisis isotop dari koral ini juga memperlihatkan signal dari letusan Tambora tahun 1815 yang ditandai dengan turunnya kadar delta C-13.  Koral ini akhirnya mati beberapa tahun kemudian karena rusaknya lingkungan akibat letusan Tambora ini.


Contoh lain adalah letusan Gunung Krakatau tahun 1883 yang juga sangat dikenal dunia.  Letusan ini membangkitkan tsunami sangat besar yang membunuh sekitar 30.000 jiwa penduduk di wilayah Selat Sunda.  Selain itu, letusan ini juga menyebabkan temperatur bumi turun tiba-tiba sebesar 10 Celcius dan membuat iklim bumi menjadi kacau tidak menentu selama 5 tahunan (Winchester 2003).   Namun kita hanya tahu keganasan Krakatau hanya dari letusan yang terjadi dalam sejarah ini saja.  Tapi belum banyak tahu tentang karakteristik siklus letusan Krakatau dalam jendela waktu yang lebih panjang  karena perkembangan Krakatau sebelum 1883 belum banyak diteliti.  Walaupun demikian kejadian letusan Krakatau purba diberitakan dalam Kitab Raja Purwa yang dibuat pujangga Jawa dari Kesultanan Surakarta, Ronggowarsito, yang diterbitkan tahun 1869 atau 14 tahun sebelum letusan Krakatau.  Terjemahan dari isinya antara lain:

  …di tahun Saka 338 (=416 Masehi ?) sebuah bunyi menggelegar terdengar dari Gunung Batuwara yang dijawab dengan suara serupa yang datang dari Gunung Kapi (=Proto Krakatau) yang terletak di sebelah barat Banten baru…”
“Seluruh dunia terguncang hebat, dan guntur menggelegar, diikuti hujan lebat dan badai, tetapi air hujan itu bukannya mematikan ledakan api ‘Gunung Kapi’ melainkan semakin mengobarkannya, suaranya mengerikan, akhirnya ‘Gunung Kapi’ dengan suara dahsyat meledak berkeping-keping dan tenggelam ke bagian terdalam dari bumi”

“..kemudian air laut naik dan membanjiri daratan, negeri di timur Gunung Batuwara sampai Gunung Raja Basa dibanjiri oleh air laut; penduduk bagian utara negeri Sunda sampai Gunung Raja Basa tenggelam dan hanyut beserta semua harta milik mereka.”


Gambar 8. (a)  Peta perkiraan kaldera purba dari Proto Krakatau yang meletus di Abad 6, (b) Stratigrafi simpel dan kisaran carbon dating dari endapan erupsi katastrofi purba.  Radius kaldera sekitar 50 km dibatasi oleh Gunung Krakatau sekarang, Rajabasa dan Sangiang – Anyer.  Sebelum letusan tanah jawa dan Sumatra diduga bersatu (dari Ken Wohletz - http://www.ees1.Ianl.gov/Wohletz/Krakatau.htm)


Dari berbagai penelitian diduga bahwa letusan Gunung Kapi atau Proto Krakatau bukan di tahun 416 Masehi seperti yang diterjemahkan dari Kitab Raja Purwa tapi berkaitan erat dengan data perturbasi iklim global yang terjadi pada tahun 535 Masehi (Wohletz 2000).  Gangguan iklim ini diduga kuat disebabkan oleh letusan gunung api karena ditandai oleh kenaikan drastis dari asam sulfida dari analisis sampel bor es dari Greenland dan Antartica; Dan yang menjadi kandidat  kuatnya adalah Proto Krakatau yang mempunyai jejak kaldera purba dengan diameter 50 km (Gbr.8).  Peristiwa bencana letusan katastrofi ini diduga berperan dalam runtuhnya kota-kota besar kuno di dunia dan musnahnya peradaban kuno di Persia, Arab Selatan, Nasca – Amerika Selatan, dan mungkin juga termasuk Kerajaan Kuno Pra-Kutai dan Tarumanagara  di Indonesia;  Apakah karena bencana katastropik inikah yang menyebabkan sejarah Indonesia yang kita kenal sekarang mulainya hanya dari tahun 600-an Masehi?  Ini adalah PR para ahli geologi dan arkeologi untuk menelitinya, Kemudian letusan Krakatau purba juga  boleh jadi penyebab mulainya keruntuhan Kerajaan Roma yang ditandai dengan munculnya banyak kerajaan-kerajaan kecil.  Peristiwa lain yang dikaitkan dengan bencana katastrofi ini adalah kelahiran kembali “United China”, dan kemunculan serta mulai menyebarnya Islam bersamaan dengan menghilangnya masa rezim kristiani bangsa Aria.

Jadi banyak sekali informasi sumber bencana yang harus kita gali dengan penelitian supaya kita tidak buta terhadap potensi bencana besar atau super besar yang bisa saja dapat terjadi pada semasa kita hidup atau menimpa anak-cucu kita.  Tidak cukup apabila kita hanya menduga-duga dan berharap bencana itu tidak terjadi pada kita dan anak-cucu kita.  Sesuai dengan prinsip siklus alam, cepat atau lambat bencana besar yang pernah terjadi di masa lalu akan terulang lagi, oleh karena itu kita harus berusaha sekuat tenaga untuk dapat mengantisipasinya.  Walaupun misalnya bencana katastrofi akhirnya membinasakan kita juga tapi paling tidak dapat gugur dengan elegan sebagai pejuang bukan konyol seperti sekumpulan orang bodoh yang tak berusaha.

KESIMPULAN

Sejarah perkembangan dan musnahnya suatu bangsa atau peradaban banyak berkaitan erat dengan siklus-siklus bencana besar katastrofi.   Ketahanan dan “survival” bangsa boleh jadi tergantung dari seberapa pandai dapat mengantisipasi berbagai potensi bencana yang akan datang.  Oleh karena itu mitigasi bencana harus berbasiskan pada pengetahuan tentang sumber dan potensi bencana di berbagai wilayah dengan sebaik-baiknya.  Akan sangat tidak bijaksana apabila hanya mementingkan mitigasi ke arah persiapan penanggulangan bencana pasca kejadian karena usaha ini besar kemungkinan menjadi sangat besar biayanya dan boleh jadi tidak tepat sasaran.   Siklus bencana besar sangat panjang sehingga misalnya memfokuskan usaha mitigasi ke arah pembangunan shelter-shelter untuk evakuasi korban dimana-mana tanpa pertimbangan prioritas berdasarkan tingkat siklus dan potensi bencananya maka boleh jadi akan banyak shelter-shelter yang sudah rusak dan dilupakan orang ketika bencana sesungguhnya datang menghantam.
Faktor yang sangat vital untuk membangkitkan kesadaran dan ketahanan masyarakat terhadap risiko bencana adalah dengan membangunkan atau mengembangkan kearifan (lokal) masyarakat berdasarkan pengalaman panjang di masa lalu.  Kearifan lokal ini kenyataannya sudah banyak yang hilang atau terlupakan seperti yang terjadi di Aceh, Padang atau Jogyakarta misalnya.  Oleh karena itu dalam strategi mitigasi nasional sangat perlu membuat program penelitian dan pendidikan yang serius dan komprehensif untuk menggali dan menghadirkan kembali pengetahuan dan kearifan tradisional ini.



DAFTAR PUSTAKA