Makalah,
PIT IAGI Ke-41 , Jogyakarta, 17-20 September 2012
Oleh : Danny Hilman Natawidjaja 1,2
1 LabEarth, Puslit Geoteknologi-LIPI
2 Tim Independen Studi Bencana Katastrofi Purba
SARI
Usaha pengurangan
risiko bencana tanpa dipandu oleh pengetahuan siklus dan potensi bencana
cenderung hanya memboroskan dana dan tidak tepat sasaran. Paradigma responsif terhadap bencana yang
sudah terjadi harus dirubah menjadi budaya preventif terhadap potensi bencana
yang akan datang. Siklus bencana besar
mempunya rentang waktu sangat panjang sedangkan siklus bencana kecil lebih
sering terjadi sehingga orang banyak mengabaikan ancaman bencana besar atau
katastrofi. Tugas ahli geologi kebencanaan adalah meneliti potensi
sumber-sumber bencana dan menggali data kejadian bencana di masa lalu untuk
dijadikan pelajaran. Berbagai kejadian
bencana yang terjadi di Aceh, Padang,
Jogyakarta dan banyak daerah lainnya mengindikasikan bahwa ‘kearifan lokal’ yang sering dijagokan untuk
menjadi panglima dalam membangun kesadaran dan ketahanan masyarakat terhadap
ancaman bencana kenyataannya sudah banyak dilupakan. Oleh karena itu perlu digali dan dibangkitkan
lagi dengan program penelitian dan pendidikan yang serius dan
komprehensif. Kalau tidak maka konsep
kearifan lokal ini akan menjadi pepesan kosong belaka.
LATAR BELAKANG
Mitigasi bencana alam membutuhkan manajemen
dan strategi yang spesifik untuk setiap wilayah. Mitigasi bencana dapat dikatagorikan untuk dua
hal, yaitu: Usaha pengurangan risiko pra-kejadian dan usaha mempersiapkan penanggulangan pasca
kejadian. Dua hal ini harus dilakukan
secara paralel dalam mitigasi bencana. Namun
persiapan pasca kejadian sebaiknya dipandu oleh pengetahuan yang cukup tentang potensi
bencana diberbagai wilayah, khususnya untuk melakukan prioritas. Dalam makalah ini pembahasan akan difokuskan
ke hal yang pertama, yaitu usaha mitigasi pra-kejadian dari sudut pandang
pemanfaatan sains dan teknologi di bidang ilmu geologi/kebumian, khususnya
untuk bencana-bencana yang besar (katastrofi).
Manajemen bencana tidak akan terlepas dari keharusan
mengidentifikasi sumber-sumber ancaman/bencana terlebih dahulu. Identifikasi sumber bahaya adalah hal
mendasar yang harus dilakukan dengan sebaik mungkin. Tanpa mengetahui sumber bahaya serta tingkat
ancaman dan risikonya terhadap manusia maka akan sukar untuk melakukan mitigasi
dan manajemen bencana dengan tepat dan efisien.
Contoh nyata dari peran penelitian geologi kebencanaan untuk mitigasi
adalah kasus Padang - Sumatra Barat. Tanpa
didahului penelitian sumber bencana (gempa) dan diseminasi hasil penelitiannya
ke masyarakat maka mustahil terjadi berbagai usaha mitigasi bencana seperti
sekarang ini.
Hasil identifikasi potensi bencana yang baik dan
rinci serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah adalah modal utama untuk
meyakinkan masyarakat dan para pemangku kepentingan bergerak bersama-sama dalam
mengantisipasi ancaman bencana tersebut.
Karena walaupun potensi bencana ini sudah diidentifikasi dan diprediksi
dengan namun tetap membutuhkan usaha dan proses yang cukup panjang untuk
menggulirkan tindakan nyata dari pengurangan risiko bencana. Masih perlu waktu dan usaha yang tidak
sedikit untuk menterjemahkan hasil identifikasi dan prediksi sumber bencana tersebut
menjadi berbagai keperluan praktis, seperti peta kebencanaan untuk masyarakat,
usaha menyiapkan jalur evakuasi dan pelatihan-pelatihan, rencana menyiapkan shelter-shelter,
dan modul-modul pendidikan masyarakat. Jadi,
akan lebih sulit lagi untuk melakukan mitigasi bencana apabila potensi sumber bencananya saja belum diteliti
dengan baik.
Bencana alam ada yang berskala sangat besar
(katastrofi), besar, sedang, dan kecil.
Semuanya mempunyai siklusnya masing-masing. Hal ini berlaku umum untuk semua jenis sumber
bencana, termasuk: gempabumi, gunung api, banjir dan longsor. Bencana dengan magnitudo/skala besar biasanya mempunyai siklus perulangan yang panjang atau
frekuensi kejadian yang jarang, sebaliknya bencana berskala kecil akan lebih
sering terjadi. Sering orang ‘tertipu’
dengan hanya mengantisipasi prediksi bencana yang berskala kecil, karena hal
ini yang biasanya diketahui dengan baik, tapi melupakan bencana besar yang
belum pernah terjadi atau sudah ‘terlupakan’ karena kejadian terakhirnya sudah
lama sekali sehingga hilang atau tidak tercatat dalam sejarah. Oleh karena itu diperlukan usaha penelitian
yang serius untuk dapat mendapatkan fakta-fakta tentang kejadian bencana katastropik
di masa lalu tersebut sehingga ancaman besar ini dapat dimasukkan dalam agenda
mitigasi bencana. Hal yang perlu dikaji
tidak hanya proses dan kejadian alamnya saja tapi akan lebih baik lagi apabila
dapat diketahui juga tentang dampak dari kejadian-kejadian bencana besar itu
terhadap masyarakat pada waktu itu sehingga dapat mengambil manfaat dari aspek
‘kearifan lokal’ dari pengalaman masa lalu itu.
‘KEARIFAN LOKAL’ YANG TERABAIKAN
Bencana besar tsunami di wilayah Aceh-Andaman
pada bulan Desember 2004 adalah contoh nyata bagaimana orang, termasuk para
ahli gempa dan tsunami, mengabaikan potensi mega-tsunami ini. Hal ini terutama disebabkan karena dalam
sejarah memang tidak pernah terjadi gempa-tsunami yang mencapai skala 9 (Meltzner, K.Sieh et al. 2005; Subarya, Chlieh et
al. 2006; Chlieh, Avouac et al. 2007). Potensi bencana yang diabaikan ini divalidasi
oleh konsep gempa yang diyakini oleh banyak ahli pra-gempa Aceh 2004 bahwa kondisi
tektonik di wilayah ini dianggap tidak berpotensi menghasilkan gempa berskala
sangat besar. Kejadian bencana
gempa-tsunami Aceh tahun 2004 kemudian merubah drastis paradigma konsep potensi
gempa ini dan juga menyadarkan orang akan perlunya penelitian yang lebih
mendalam serta persiapan yang lebih serius untuk mencegah hal serupa terjadi
lagi di masa datang, termasuk maraknya pembangunan sistem peringatan dini
tsunami. Walaupun setelah itu, kejadian
bencana tsunami dahsyat di Sendai, Jepang tahun 2011, di negara adijaya yang punya
banyak ahli gempa-tsunami, kembali mengguncang dunia. Kali ini telak menampar
para ahli gempa dan tsunami di sana.
Sebenarnya bukan tidak ada penelitian tentang potensi tsunami yang
ekstrim ini namun pemangku kepentingan kebetulan lebih condong kepada skenario
bencana gempa-tsunami yang moderat dan sudah sering terjadi untuk diimplementasikan
kepada persiapan mitigasinya.
Selamatnya masyarakat di Pulau Simelue adalah
bukti nyata bagaimana kearifan lokal dari masa lalu dapat sangat berperan. Namun orang harus paham bahwa kearifan lokal
tentang “SMONG”, istilah tsunami untuk orang Simelue, masih hidup di masyarakat
karena kejadian bencana tsunami besar terakhir di wilayah ini belum begitu
lama, yaitu tahun 1907 sehingga belum terlupakan meskipun tidak ada usaha untuk menggali dan mengembangkan
kearifan lokal ini. Banyak orang tidak
tahu bahwa tinggi tsunami pada tahun 1907 di pesisir barat Simelue dua kali
lebih besar dari yang terjadi tahun 2004 (Natawidjaja, Latief et al. 2007),
sehingga menurut penuturan penduduk setempat apabila besar tsunami tahun 2004
sama dengan yang tahun 1907 besar kemungkinan akan tetap banyak makan korban. Masyarakat Banda Aceh tidak seberuntung Simelue
karena mereka sama sekali tidak menyadari ancaman tsunami ini. Hal ini diperparah lagi oleh peta bahaya
tsunami yang dipublikasi menunjukan potensi tsunami di Banda Aceh tidak lebih
dari dua meter. Padahal sebenarnya ada ingatan masyarakat tentang IEU BEUNA yang
mengindikasikan tentang bencana ‘banjir besar’ di masa lalu tapi orang sudah
tidak tahu lagi maknanya karena
kejadiannya sudah sangat lama. Andaikan
saja ada penelitian yang menggali
tentang kearifan dari pengalaman di masa lalu tersebut maka boleh jadi
korbannya akan jauh lebih sedikit (Natawidjaja 2012).
PREDIKSI BENCANA GEOLOGI
Mitigasi
bencana seyogyanya dimulai dengan prediksi potensi bencana. Prediksi bencana ada dua macam: Prediksi
Jangka Panjang dan Prediksi Jangka pendek.
Metoda dan obyek penelitian dari dua jenis prediksi ini adalah dua
disiplin keilmuan yang berbeda. Prediksi
jangka panjang meneliti karakteristik dan siklus dari sumber bencana sedangkan
prediksi jangka pendek fokus kepada fenomena “precursor” kejadian atau
tanda-tanda atau anomali-anomali alam yang terjadi sebelum bencana besar
datang. Prediksi jangka panjang memperkirakan kemungkinan terjadinya bencana di
masa datang dengan meneliti karakteristik dan perioda ulang siklusnya serta bukti
tentang kejadian-kejadian bencana di masa lalu, terutama kapan kejadian
terakhir dari bencana besarnya. Jadi
prinsipnya sederhana: dengan memahami karakter, pola dan selang waktu siklus
serta mengetahui kejadian terakhirnya maka orang dapat membuat prediksi tentang
kemungkinan terjadi bencana besar berikutnya.
Prediksi bencana jangka pendek, yaitu perkiraan hari ‘H’ dari bencana
besar, masih sulit untuk dilakukan, terutama untuk gempa, dan juga masih
sedikit yang sudah dapat diaplikasikan kedalam tindakan mitigasi praktis. Selain itu penelitian prediksi jangka pendek
hanya dapat dilakukan apabila orang sudah paham terlebih prediksi jangka panjang (atau
siklusnya) dari sumber bencana yang bersangkutan. Yang biasa diaplikasikan dalam mitigasi
bencana diseluruh dunia adalah prediksi jangka panjang. Peta-peta bahaya dan risiko bencana dibuat
berdasarkan hasil prediksi bencana jangka panjang ini.
SIKLUS BENCANA
Gempa, letusan gunung api, banjir dan lainnya
mempunyai siklus. Ada siklus kecil dan
ada siklus besar. Siklus bencana alam
diketahui dengan meneliti ‘jejak’ kejadiannya di masa lalu. Umumnya siklus bencana besar sangat panjang,
ratusan bahkan ribuan sampai puluhan atau ratusan ribu tahun. Sehingga datanya harus dicari dari
bukti-bukti rekaman alam, tidak hanya bersandar pada catatan sejarah atau
rekaman peralatan monitoring yang terbatas saja. Untuk Indonesia, catatan tentang kejadian
bencana, hanya sampai seratus hingga tiga ratus tahun ke belakang. Sejarah dan catatan sebelum tahun 1700 Masehi
sangat langka dan biasanya sangat sedikit informasinya. Sejarah kejadian bencana sebelum tahun 1500 M hampir
tidak ada, padahal wilayah Nusantara adalah “hot spot” dunia untuk sumber
bencana alam, khususnya gempabumi dan letusan gunung api (Latief 2007) . Oleh karena itu sepertinya
bangsa Indonesia menderita amnesia dari kejadian bencana-bencana besar yang pernah
menimpa masyarakat di masa lalu.
Contoh dari hasil penelitian siklus bencana adalah
siklus gempa bumi besar dari rekaman terumbu karang mikroatol di pantai barat
Sumatra dan pulau-pulau di busur luarnya, termasuk Mentawai, Batu, Nias, dan
Simelue (Natawidjaja, K.Sieh
et al. 2004; Natawidjaja, K.Sieh
et al. 2006; Natawidjaja, K. Sieh
et al. 2007; Sieh, Natawidjaja et
al. 2008 in press). Studi ini
berhasil mengungkapkan siklus gempa besar yang terjadi dalam 700 hingga 1000
tahun terakhir di megathrust segmen Mentawai (Gbr. 1). Data menunjukkan bahwa telah terjadi
(perioda) gempa besar pada tahun 1000-an Masehi, Tahun 1300-an, tahun 1600-an
dan tahun 1800-an Masehi (Gbr.2). Yang
masih tercatat dalam sejarah adalah gempa tahun 1800-an, yang terjadi dua kali,
yaitu tahun 1797 (Mw 8.7) dan 1833 (Mw 8.9) walaupun catatannya sangat sedikit (Natawidjaja, K.Sieh
et al. 2006). Hal ini
disebabkan karena pada waktu tahun 1797 populasi penduduk di Kota Padang tidak
lebih dari 10 ribu orang dan pada waktu tahun 1833 masih belum lebih dari 15.000
orang, sehingga korbannya tidak banyak.
Jadi dapat dipahami kenapa
pengalaman ini tidak berbekas dalam ingatan masyarakat, terlebih lagi
karena masyarakat yang sekarang kebanyakan adalah penduduk yang datang
kemudian.
|
Gambar
2. Siklus gempa besar “megathrust” di segmen Mentawai, Sumatra Barat dalam 700
tahun terakhir dari data koral-paleogeodesi di tiga lokasi di Pulau Pagai. |
Siklus
gempa untuk masing-masing segmen patahan berbeda satu sama lainnya, bahkan bisa
sangat kontras seperti di Pulau Simelue dimana bagian selatannya berada di atas
segmen Megathrust Nias-Simelue yang mempunyai karakteristik gempa besar (M8+)
dengan perioda ulang sekitar 200 tahunan, sedangkan bagian utara Pulau Simelue
termasuk wilayah dari Segmen megathrust Aceh-Andaman yang mempunya siklus gempa
sangat besar (M9+) dengan perioda ulang sekitar 500-600 tahunan (Gbr.3). Dari catatan sejarah kita tahu bahwa gempa
yang setara dengan gempa besar tahun 2005 (Mw 8.6) di Nias-Simelue pernah juga
terjadi pada tahun 1861. Tidak ada
catatan sejarah gempa besar yang setara gempa tahun 2004 untuk segmen
Aceh-Andaman. Tapi, hasil penelitian
paleogeodesi-koral mikroatol menunjukkan bahwa ternyata pernah terjadi
gempa-tsunami besar pada tahun 1390 M dan 1450 M. Pengangkatan yang terjadi di utara Pulau
Simelue pada waktu gempa tahun 1450 bahkan dua kali lebih besar dibandingkan
dengan yang terjadi pada waktu gempa tahun 2004. Jadi selang waktu antara gempa terdahulu
dengan gempa 2004 adalah sekitar 550 tahunan.
Fakta geologi ini sesuai dengan perhitungan model elastik dislokasi
(akumualsi dan pelepasan energi regangan) dari studi GPS bahwa perioda gempa
setara Mw 9.2 di wilayah ini adalah sekitar 550 – 600 tahunan (Chlieh, Avouac et
al. 2007). Beberapa data
pengangkatan koral mikroatol juga mengindikasikan terjadinya gempa besar
sebelumnya sekitar tahun 960 M (Meltzner 2012) . Tentu
menarik untuk dikaji apa dampak dari bencana gempa-tsunami purba ini terhadap
masyarakat Aceh pada masa lalu itu.
Apakah istilah IEU BEUNA berasal dari peristiwa bencana tsunami lalu
pada Abad 15 atau sejak Abad 10?
|
Gambar 3. Data
pengangkatan dari gempa-gempa besar yang terjadi di masa lalu dari data koral
mikroatol dan hasil anailsa kontur pengangkatan yang terjadi pada waktu gempa
2004 (Mw9.2) dan 2005 (Mw8.6) di Pulau Simelue, juga dari data koral mikroatol
yang terangkat oleh dua gempa besar tersebut. |
Dengan prinsip dan metoda yang sudah
diterapkan untuk segmen Mentawai maka dari data-data pengangkatan koral di
wilayah Aceh dapat disusun rekonstruksi siklus gempa besar seperti terlihat
pada Gambar 4 di bawah. Yang menjadi
acuan siklus gempa besar ini adalah data paleogeodesi atau turun naiknya muka
bumi di wilayah Simulue utara berdasarkan data pengangkatan terumbu karang. Gempa megathrust di wilayah ini mempunyai siklus
gempa sangat besar disebut sebagai “earthquake supercycles”. Ada indikasi bahwa satu masa pelepasan akumulasi
energi dikeluarkan oleh lebih dari satu gempa besar seperti yang terjadi pada
tahun 1390 dan 1450 M. Hal yang serupa
juga terjadi di segmen zona subduksi di wilayah Mentawai (Sieh dkk, 2008;
Natawidjaja dkk, 2006).
Yang sangat menarik, apabila siklus
gempa-tsunami ini dikaitkan dengan sejarah Aceh. Kerajaan Samudra Pasai
sepertinya menghilang dari sejarah secara misterius setelah pemerintahan Sultan Abu Zaid Malik az-Zahir (1412 – 1455). Menurut beberapa sumber mungkin masih ada
beberapa sultan setelah Abu Zaid tapi sepertinya tidak ada aktifitas berarti,
terutama menyangkut berita hubungan ke luar negeri. Lebih menarik lagi bahwa pada tahun 1496
muncul kerajaan yang sama sekali baru, bukan kelanjutan dari Samudra Pasai,
yaitu Kesultanan Aceh Darussalam. Tidak
seperti sebelumnya, kesultanan baru ini hubungan dan pencampuran kebudayaan
dengan Asia (India, Arab, Cina) kelihatannya lebih intens. Bangsa Asing (Portugis) juga mulai masuk dan
berperan setelah Samudra Pasai menghilang.
Oleh karena itu sangat patut dicurigai bahwa keruntuhan Samudra Pasai
boleh jadi erat kaitannya dengan bencana tsunami sangat besar yang terjadi
tahun sekitar tahun 1450 M tersebut.
Fakta bahwa pemerintahan Sultan Zain al -Abidin Malik az –Zahir
(1383 – 1405) sepertinya baik-baik saja dan juga tiga kali kedatangan Laksamana
Cheng-Ho pada tahun 1405, 1408, dan 1412 pada masa Sultan Shalahuddin (1405 –
1412) tidak memberitakan ada bencana besar mengindikasikan bahwa bencana
gempa-tsunami tahun 1390-an tidak sebesar yang terjadi tahun 1450-an, dan ini
memang cocok dengan data koral di utara Simelue yang memperlihatkan bahwa
pengangkatan gempa 1390 jauh lebih kecil dibanding dengan 1450 (Gbr. 4).
Apabila benar
bahwa bencana gempa-tsunami yang memisahkan Zaman Samudra Pasai dan Aceh
Darussalam maka mulai terkuak kenapa jejak-jejak sejarah sebelum Aceh
Darussalam ini seolah-olah hilang ditelan bumi, sedikit sekali yang tersisa.
Ada beberapa jejak bangunan purba yang sekarang berada di bawah zona pasang surut
di utara Banda Aceh, termasuk Makam Para Raja di Ujung Pancu/ Lhok Lambaro (McKinnon
1988).
Sebuah makam para raja biasanya di tempat tinggi. Jadi fakta bahwa makam
itu sekarang ada di bawah air menandakan bahwa lokasi ini mengalami penurunan
(tektonik) yang sangat cepat. Hal ini
memang cocok dengan kondisi tektoniknya karena lokasi ini berada pada zona
“transtensional” besar dari Patahan Sumatra.
Di zona pasang-surut di dekat makam ini pernah juga dilaporkan ada bekas
fondasi bangunan besar yang diduga bekas sebuah mesjid kuno, kemungkinan
berasal dari zaman Pasai atau sebelumnya.
Singkat kata, jejak-jejak peradaban Pasai dan sebelumnya kemungkinan
besar musnah dihancurkan gelombang
tsunami dan sekarang banyak tertimbun di perairan dangkal atau sudah ditutupi
oleh sedimen pantai yang tebal. Fakta lain yang menarik adalah catatan Ibnu
Batutta yang datang tahun 1345 tentang gambaran Kota Tua di lokasi Banda Aceh
sekarang yang dikitari oleh beberapa lapis benteng tembok. Pertanyaannya kenapa kota tua yang indah dan
megah ini seolah-olah hilang jejaknya ditelan bumi, termasuk benteng-benteng
yang mengitari kota-nya. Apakah karena
dihancur leburkan oleh Portugis dan Belanda atau oleh tsunami?
Setelah gempa Mw 9.2 memang sudah terjadi banyak
sekali gempa-gempa sedang dan kecil yang mengikutinya. Namun menurut perhitungan banyaknya akumulasi
energi gempa sejak gempa 1390 dan 1450 kemungkinan masih ada simpanan gempa
yang cukup besar di wilayah utara Pulau Simelue, sehingga hal ini tetap harus
diwaspadai(Gbr.5) . Segmen lain yang
perlu diteliti adalah yang diduga menjadi sumber dari gempa tahun 1907. Tipe gempa tahun 1907 adalah sama dengan
gempa September 2010 yang bersumber di barat Pulau Pagai Selatan. Gempa tipe ini biasa disebut sebagai “slow
earthquake” atau “tsunami earthquake” karena walauoun magnitudenya tidak besaar
tapi pergerakan patahannya sangat besar sehingga dapat membangkitkan tsunami
yang besar.
|
Gambar 4.
Siklus Mega Gempa-Tsunami dalam konteksnya dalam Sejarah Aceh. Bencana
besar tsunami tahun 1450-an diduga berperan dalam keruntuhan Samudra Pasai. |
|
Gambar 5.
Potensi gempa besar berikutnya di wilayah Aceh. Dari perhitungan besar
akumulasi energi yang terkumpul dan yang sudah dilepaskan saat gempa tahun 2004
diduga bahwa segmen megathrust di wilayah yang berwarna biru di utara Simelue
masih menyimpan energi gempa yang cukup besar. |
Daratan
Pulau Jawa tidak luput dari jalur-jalur patahan gempa. Dalam catatan sejarah banyak sudah gempa-gempa
yang merusak terjadi (Gbr.6). Salah satu
diantaranya adalah gempa tahun 1857 di wilayah selatan Jogyakarta yang
mengakibatkan kerusakan yang tidak sedikit dan korban jiwa sampai 500
orang. Catatan yang dibuat pada zaman
belanda cukup rinci menjelaskan dampak dari gempa ini. Diceritakan, setelah bencana, Sri Sultan
mengatakan bahwa bencana gempa tersebut memang tragedi besar namun beliau
membesarkan hati masyarakat bahwa bencana itu hanya terjadi sekali dan tidak
akan pernah terjadi lagi sehingga sebaiknya dikubur saja dalam-dalam memori
yang menyakitkan itu, tidak perlu diingat-ingat lagi. Masyarakat patuh dan kelihatannya memang
melupakan tragedi masa lalu itu. Yang
dikatakan Sri Sultan memang benar, sampai gempa kembali menghantam lagi pada
bulan Juli 2006 di wilayah yang kurang lebih sama dengan gempa tahun 1857 (Gbr.
7) tapi membuat korban jiwa 10 kali lipat lebih banyak. Dua bulan kemudian gempa Bantul ini disusul
oleh gempa yang lebih besar di lepas pantai Pangandaran yang membangkitkan
tsunami cukup besar (Gbr.7) sehingga mengakibatkan kerusakan yang cukup banyak
di sepanjang pantai selatan Jawa.
Setelah gempa-tsunami Pangandaran tahun 2006 sumber gempa megathrust di
selatan jawa diduga masih menyimpan energi gempa yang besar, khususnya di
segmen yang berstatus sebagai “seismic gap” atau segmen patahan gempa yang
sudah lama mengakumulasi energi gempa dan belum dilepaskan.
Seperti halnya
gempa, gunung api pun mempunyai siklus.
Letusan besar gunung api mempunyai siklus ratusan sampai ribuan tahun,
bahkan untuk yang super besar siklusnya bisa puluhan ribu bahkan ratusan ribu
tahun. Letusan Toba purba yang terjadi
sekitar 73.000 tahun lalu adalah super erupsi yang paling terkenal dan sangat
fenomenal. Super-erupsi ini menyebabkan
dunia mengalami masa “volcanic winter” selama 6-10 tahun, bahkan dunia masih
terus mendingin selama 1000 tahun berikutnya (Rampino
1992).
Bencana gunung api katastrofi ini juga diduga menyebabkan kepunahan
manusia sampai hanya tersisa beberapa ribu pasang saja (Rampino
1993).
Dari penelitian yang dilakukan LIPI dan Australian National University
baru-baru ini didapat data analisa oksigen dan karbon isotop dari stalagtit dan
stalagmit di dalam goa gamping di Flores yang mengindikasikan bahwa ketika
terjadi letusan Toba tersebut seluruh ekosistem di Indonesia rusak total (Gagan
2012).
Sampai saat ini
data karakteristik dan siklus letusan dari banyak gunung api di Indonesia masih
sangat minim. Penelitian yang sudah
dilakukan masih berfokus hanya pada monitoring aktivitas vulkanik yang sedang
terjadi. Data letusan di masa lampau umumnya
masih terbatas hanya sampai tahun 1600 Masehi, itupun sangat tidak komplit. Penelitian masih sedikit yang diarahkan untuk
mengerti tentang karakteristik, struktur magma aktif di bawah dan siklus proses
gunung api dalam rentang waktu yang lebih panjang. Oleh karena itu akan sangat sukar untuk mampu
membuat prediksi mana diantara gunung api yang tersebar di wilayah Nusantara yang
berpotensi untuk memuntahkan erupsi besar atau bahkan super besar dalam kurun
waktu sekarang dan akan datang. Padahal
apabila terjadi letusan sebesar Tambora 1815 misalnya, dapat dibayangkan
bagaimana dampaknya kepada Indonesia bahkan seluruh dunia.
Letusan Tambora tahun
1815 adalah letusan gunung api terbesar di dunia setelah letusan Gunung Taupo
di New Zealand pada tahun 181 Masehi sampai sekarang (Stothers 1984). Letusan yang juga membangkitkan tsunami ini
membunuh sekitar 11.000 orang secara langsung dan 60.000 jiwa di Indonesia
karena dampak letusannya (Oppenheimer). Di
badan gunung api ditemukan ada reruntuhan Kerajaan yang tertimbun dibawah
endapan piroklastinya, seperti peristiwa Pompeei di Eropa. Setelah letusan ini dunia mengalami “Year
without Summer” karena atmosfer dunia terbungkus oleh awan debu muntahannya. Akibatnya suhu bumi turun tiba-tiba dan
banyak panen yang gagal di berbagai pelosok dunia sehingga. Selain itu perubahan iklim tiba-tiba inipun
memicu timbulnya wabah penyakit di Eropa.
Rangkaian dari dampak letusan ini berakibat korban sampai jutaan jiwa. Abu
dari Gunung Tambora sampai keperairan Mentawai seperti terlihat pada rekaman
koral mikroatol di Mentawai (Gbr. 7).
Dampak letusan ini membuat banyak terumbu karang mati. Sebelum 1815 Gunung Tambora diketahui sudah tiga kali meletus pada
tahun 3910 SM ± 200 tahun, 3050 SM dan 740 ± 150 tahun, tetapi besarnya letusan tidak
diketahui pasti (http//www.volcano.si.edu/world/volcano). Debu dari letusan Tambora ini sampai ke
perairan Mentawai sehingga terekam dalam pertumbuhan terumbu karang – mikroatol
(Gbr.8).
|
Gambar 7. Slab
koral mikroatol dari Siruamata Pulau Sipora di Kep.Mentawai memperlihatkan
rekaman “uplift” gempa 1797. Analisis
isotop dari koral ini juga memperlihatkan signal dari letusan Tambora tahun
1815 yang ditandai dengan turunnya kadar delta C-13. Koral ini akhirnya mati beberapa tahun
kemudian karena rusaknya lingkungan akibat letusan Tambora ini. |
Contoh lain adalah letusan Gunung Krakatau tahun
1883 yang juga sangat dikenal dunia.
Letusan ini membangkitkan tsunami sangat besar yang membunuh sekitar
30.000 jiwa penduduk di wilayah Selat Sunda. Selain itu, letusan ini juga menyebabkan
temperatur bumi turun tiba-tiba sebesar 10 Celcius dan membuat iklim
bumi menjadi kacau tidak menentu selama 5 tahunan (Winchester 2003). Namun kita hanya tahu keganasan Krakatau
hanya dari letusan yang terjadi dalam sejarah ini saja. Tapi belum banyak tahu tentang karakteristik
siklus letusan Krakatau dalam jendela waktu yang lebih panjang karena perkembangan Krakatau sebelum 1883 belum
banyak diteliti. Walaupun demikian
kejadian letusan Krakatau purba diberitakan dalam Kitab
Raja Purwa yang dibuat pujangga Jawa dari
Kesultanan Surakarta, Ronggowarsito, yang diterbitkan tahun 1869 atau 14
tahun sebelum letusan Krakatau.
Terjemahan dari isinya antara lain:
“
…di tahun Saka 338 (=416 Masehi ?) sebuah bunyi menggelegar terdengar dari
Gunung Batuwara yang dijawab dengan suara serupa yang datang dari Gunung Kapi
(=Proto Krakatau) yang terletak di sebelah barat Banten baru…”
“Seluruh dunia
terguncang hebat, dan guntur menggelegar, diikuti hujan lebat dan badai, tetapi
air hujan itu bukannya mematikan ledakan api ‘Gunung Kapi’ melainkan semakin
mengobarkannya, suaranya mengerikan, akhirnya ‘Gunung Kapi’ dengan suara
dahsyat meledak berkeping-keping dan tenggelam ke bagian terdalam dari bumi”
“..kemudian air laut naik dan membanjiri daratan, negeri di timur Gunung
Batuwara sampai Gunung Raja Basa dibanjiri oleh air laut; penduduk bagian utara
negeri Sunda sampai Gunung Raja Basa tenggelam dan hanyut beserta semua harta
milik mereka.”
|
Gambar 8. (a) Peta perkiraan kaldera purba dari Proto
Krakatau yang meletus di Abad 6, (b) Stratigrafi simpel dan kisaran carbon
dating dari endapan erupsi katastrofi purba.
Radius kaldera sekitar 50 km dibatasi oleh Gunung Krakatau sekarang,
Rajabasa dan Sangiang – Anyer. Sebelum
letusan tanah jawa dan Sumatra diduga bersatu (dari Ken Wohletz -
http://www.ees1.Ianl.gov/Wohletz/Krakatau.htm) |
Dari berbagai penelitian diduga bahwa letusan Gunung
Kapi atau Proto Krakatau bukan di tahun 416 Masehi seperti yang diterjemahkan
dari Kitab Raja Purwa tapi berkaitan erat dengan data perturbasi iklim global
yang terjadi pada tahun 535 Masehi (Wohletz 2000). Gangguan iklim ini diduga kuat
disebabkan oleh letusan gunung api karena ditandai oleh kenaikan drastis dari
asam sulfida dari analisis sampel bor es dari Greenland dan Antartica; Dan yang
menjadi kandidat kuatnya adalah Proto
Krakatau yang mempunyai jejak kaldera purba dengan diameter 50 km (Gbr.8). Peristiwa bencana letusan katastrofi ini diduga
berperan dalam runtuhnya kota-kota besar kuno di dunia dan musnahnya peradaban
kuno di Persia, Arab Selatan, Nasca – Amerika Selatan, dan mungkin juga
termasuk Kerajaan Kuno Pra-Kutai dan Tarumanagara di Indonesia;
Apakah karena bencana katastropik inikah yang menyebabkan sejarah
Indonesia yang kita kenal sekarang mulainya hanya dari tahun 600-an
Masehi? Ini adalah PR para ahli geologi
dan arkeologi untuk menelitinya, Kemudian letusan Krakatau purba juga boleh jadi penyebab mulainya keruntuhan
Kerajaan Roma yang ditandai dengan munculnya banyak kerajaan-kerajaan
kecil. Peristiwa lain yang dikaitkan
dengan bencana katastrofi ini adalah kelahiran kembali “United China”, dan
kemunculan serta mulai menyebarnya Islam bersamaan dengan menghilangnya masa rezim
kristiani bangsa Aria.
Jadi banyak sekali informasi sumber bencana
yang harus kita gali dengan penelitian supaya kita tidak buta terhadap potensi bencana
besar atau super besar yang bisa saja dapat terjadi pada semasa kita hidup atau
menimpa anak-cucu kita. Tidak cukup
apabila kita hanya menduga-duga dan berharap bencana itu tidak terjadi pada kita
dan anak-cucu kita. Sesuai dengan
prinsip siklus alam, cepat atau lambat bencana besar yang pernah terjadi di
masa lalu akan terulang lagi, oleh karena itu kita harus berusaha sekuat tenaga
untuk dapat mengantisipasinya. Walaupun
misalnya bencana katastrofi akhirnya membinasakan kita juga tapi paling tidak
dapat gugur dengan elegan sebagai pejuang bukan konyol seperti sekumpulan orang
bodoh yang tak berusaha.
KESIMPULAN
Sejarah perkembangan dan musnahnya suatu
bangsa atau peradaban banyak berkaitan erat dengan siklus-siklus bencana besar
katastrofi. Ketahanan dan “survival”
bangsa boleh jadi tergantung dari seberapa pandai dapat mengantisipasi berbagai
potensi bencana yang akan datang. Oleh
karena itu mitigasi bencana harus berbasiskan pada pengetahuan tentang sumber
dan potensi bencana di berbagai wilayah dengan sebaik-baiknya. Akan sangat tidak bijaksana apabila hanya
mementingkan mitigasi ke arah persiapan penanggulangan bencana pasca kejadian
karena usaha ini besar kemungkinan menjadi sangat besar biayanya dan boleh jadi
tidak tepat sasaran. Siklus bencana besar sangat panjang sehingga
misalnya memfokuskan usaha mitigasi ke arah pembangunan shelter-shelter untuk
evakuasi korban dimana-mana tanpa pertimbangan prioritas berdasarkan tingkat
siklus dan potensi bencananya maka boleh jadi akan banyak shelter-shelter yang
sudah rusak dan dilupakan orang ketika bencana sesungguhnya datang menghantam.
Faktor yang sangat vital untuk membangkitkan kesadaran
dan ketahanan masyarakat terhadap risiko bencana adalah dengan membangunkan
atau mengembangkan kearifan (lokal) masyarakat berdasarkan pengalaman panjang
di masa lalu. Kearifan lokal ini
kenyataannya sudah banyak yang hilang atau terlupakan seperti yang terjadi di
Aceh, Padang atau Jogyakarta misalnya.
Oleh karena itu dalam strategi mitigasi nasional sangat perlu membuat
program penelitian dan pendidikan yang serius dan komprehensif untuk menggali
dan menghadirkan kembali pengetahuan dan kearifan tradisional ini.