Sebagaimana diinformasikan Badan
Metereologi dan Geofisika (BMKG) dari media online dan Jaringan INATEWS (Indonesia
Tsunami Early Warning System) bahwa
telah terjadi gempabumi di Perairan Mentawai Provinsi Sumatera Barat dengan
Magnitude 5,0 SR pada tanggal 1 Juli 2014, jam 04:58:54 WIB, pada posisi -2,01 LS dan 99,14 BT, Kedalam 31 km. Berita senada juga disampaikan oleh Badan Geologi Amerika (USGS) dan Pusat Informasi Gempabumi Eropa dan Mediterania (EMSC) namun dengan nilai magnitude, kedalaman dan posisi yang sedikit berbeda dengan informasi BMKG. Sehubungan
dengan informasi tersebut, hingga saat ini belum ada laporan korban maupun kerusakan
dari gempa tersebut.
Secara geologis dan tatanan
tektonik regional wilayah Indonesia bagian Barat, khususnya Sumatera dan Kep.
Mentawai, daerah pusat gempa termasuk dalam Zona Mega Thrust Mentawai pada
Jalur Subduksi Sunda (pertemuan Lempeng Samudera Hindia dan Lempeng Benua
Eurasia). Jalur ini memanjang dari busur Kep. Andaman, Kep. Nias, Kep. Mentawai,
Selatan Selat Sunda dan Selatan P Jawa hingga Peraiaran Arafuru di Indonesia
Bagian Timur. Kawasan di sepanjang jalur tersebut memiliki catatan sejarah
gempa-gempa besar dan peristiwa tsunami yang menelan korban ribuan hingga
ratusan ribu jiwa seperti yang pernah terjadi di Aceh (2004) dan Pangandaran
(2006).
Berdasarkan data gempa dari tahu
1900 hingga 2014, seperti halnya beberapa kawasan di sepanjnag jalur subduksi, Zona
Methrust Mentawai termasuk zona seismic
gap (daerah jarang gempa atau yang sudah lama tidak mengalami gempa besar).
Menurut penelitian para ahli, seismic
gap pada Zona Mega Thrust Mentawai masih menyimpan potensi gempa dengan Magnitudo
8,9 SR. Kawasan ini pernah mengalami gempa
besar pada tahun 1797 di wilayah Siberut dengan Magnitudo 8,7 – 8,9 SR dan pada
tahun 1883 di wilayah Sipora dengan Magnitudo 8,9 – 9,1 SR, dengan periode ulang 200 – 300 tahun.
Peristiwa-peristiwa gempabumi di
sepanjang jalur subduksi (Mega Thrust), di dalam zona seismic gap ditengarai merupakan suatu proses pecahnya “kuncian-kuncian”
yang selama ini menghambat pergerakan tektonik pada zona aseismic tersebut,
sehingga dengan berkurangnya faktor-faktor
pengunci akan memperbesar kemungkinan zona megathrust melepaskan seluruh energinya
yang tersimpan. Hal
ini menimbulkan kekhawatiran bagi para pemangku kepentingan dalam penanggulangan
bencana dimana Gempa-gempa yang terjadi beberapa waktu belakangan mungkin akan
mempercepat terjadinya gempa besar di kawasan tersebut yang dapat memicu
terjadinya tsunami.
Dalam menyikapi
informasi-informasi geologis tersebut, pemerintah daerah perlu mempersiapkan
upaya-upaya mitigasi untuk pengurangan risiko bencana kaitannya dengan gempabumi
dan tsunami di daerah-daerah terancam. Pembangunan dan penyiapan sarana dan
prasarana mitigasi seperti jaringan peringatan dini bencana, jalur evakuasi vertikal
dan horizontal, dan tempat-tempat
evakuasi sementara haruslah dipersiapkan segera. Disamping itu perkuatan kapasitas
masyarakat melalui melalui sosialisasi, pendidikan pengurangan risiko bencana,
pelatihan dan simulasi perlu ditingkatkan. Master Plan Pengurangan Risiko Bencana Gempabumi dan Tsunami yang telah dipersiapkan BNPB dari beberapa tahun yang lalu haruslah segera diimplementasikan secara tepat dan langsung mengarah pada wilayah-wilayah dan masyarakat yang akan terpapar bencana gempabumi dan tsunami.
Terkait dengan berita ini, Masyarakat yang berada di wilayah pesisir diharapkan tidak panik dan tetap meningkatkan kesiapsiagaan. Pengalaman gempabumi dan tsunami Aceh 2004, kesiapsiagaan masyarakat sangat penting di saat terjadinya bencana. Masyarakat P. Simeulue yang lekat dengan budaya "Smong" berhasil diselamatkan dari bencana gelombang tsunami, Sementara itu terjadi ratusan ribu korban di daratan Sumatera dan negara-negara di sekitar Samudera Hindia. Dengan demikian budaya siaga bencana haruslah selalu tertanam dalam diri individu masyarakat kita. Namun demikian pembentukan budaya siaga juga akan sangat tergantung pada peran pemerintah, lembaga-lembaga pendidikan dan masyarakat serta pengaruh para tokoh masyarakat dalam memberikan arahan dan pengetahuan serta pembentukan mental siaga masyarakat.
Terkait dengan berita ini, Masyarakat yang berada di wilayah pesisir diharapkan tidak panik dan tetap meningkatkan kesiapsiagaan. Pengalaman gempabumi dan tsunami Aceh 2004, kesiapsiagaan masyarakat sangat penting di saat terjadinya bencana. Masyarakat P. Simeulue yang lekat dengan budaya "Smong" berhasil diselamatkan dari bencana gelombang tsunami, Sementara itu terjadi ratusan ribu korban di daratan Sumatera dan negara-negara di sekitar Samudera Hindia. Dengan demikian budaya siaga bencana haruslah selalu tertanam dalam diri individu masyarakat kita. Namun demikian pembentukan budaya siaga juga akan sangat tergantung pada peran pemerintah, lembaga-lembaga pendidikan dan masyarakat serta pengaruh para tokoh masyarakat dalam memberikan arahan dan pengetahuan serta pembentukan mental siaga masyarakat.
(ysr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar