Jumat, 25 November 2016

SUMBAR – Tim Fujitsu Jepang hari ini (18/11) mengunjungi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Sumatera Barat di kantor Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops). Dalam kunjungannya dua orang Tim dari Fujitsu yaitu Koibuchi Satoshi beserta Yudhi Dwi Amrata ditemui oleh Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik – R. Pagar Negara beserta Satgas Pusdalops membicarakan tentang teknologi manajemen informasi bencana yang diterapkan saat ini oleh BPBD Sumatera Barat.
Menurut R. Pagar Negara, Pusat Pengendalian Operasi BPBD Sumbar yang berdiri sejak tahun 2008 dalam melayani masyarakat Sumatera Barat telah berupaya mengupgrade sesuai perkembangan teknologi sistem informasi dan komunikasi dengan kemampuan yang dapat dikatakan masih standar, dan itu mendapat dukungan dari pemerintah provinsi sendiri juga telah dibantu oleh BNPB dan pihak-pihak lain. R. Pagar Negara menerangkan, untuk saat ini sistem informasi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga masih dikembangkan seperti aplikasi data dan informasi bencana (INAWare) serta data dan informasi kajian risiko bencana (INARisk), namun ini belum disosialisasikan kepada daerah secara menyeluruh.
Yudhi Dwi Amrata sebagai Sales Dept.II dari Fujitsu mengunjungi BPBD Sumbar datang pada kali pertama pada pertemuan ini bertujuan untuk mengkaji terkait sistem management informasi bencana di Sumbar, dengan harapan Fujitsu kedepannya bisa menyumbangkan sistem yang dimilikinya bisa dipergunakan dan diintegrasikan dengan sistem yang telah ada di BPBD Sumbar. Untuk saat ini Fujitsu sendiri telah menciptakan aplikasi dan teknologi kebencanaan dinamakan Disaster Information Management System (DIMS) yang telah diterapkan di BPBD DKI. Yudi kembali menerangkan, sistem ini bekerja di Pusat Pengendalian Operasi BPBD DKI sebagai alat monitoring dan pengambil keputusan yang data dasarnya bersumber dari SKPD terkait serta dari Tim Reaksi Cepat (TRC) yang berada di lapangan disaat kejadian bencana. Jadi data dan informasi diperoleh dari peralatan dan aplikasi yang telah diberikan pada masing-masing SKPD terkait dan TRC yang kemudian terkumpul di database system yang berpusat di Pusat Pengendali (BPBD) dan dapat ditampilkan secara visual, grafik dan map area.
BPBD Sumbar melalui kabid. Kedaruratan dan Logistik - R.Pagar Negara mengapresiasi tujuan dari pihak Fujitsu, dan berharap peralatan serta aplikasi DIMS ini dapat diterapkan di Sumatera Barat. R. Pagar Negara juga menjelaskan, agar sistem yang dimiliki Fujitsu ini juga dapat diintegrasikan kepada aplikasi yang telah dibangun oleh Penanggulangan Bencana Pusat (BNPB) dengan tujuan sistem manajemen data dan informasi ini bisa searah dan sejalan. (Gst)

Senin, 21 November 2016

Waspadalah, 40,9 Juta Jiwa Terpapar Ancaman Longsor
16 November 2016 8:39 WIB
JAKARTA - Ditemukan 4 orang korban tewas dari longsor yang menimbun mobil di Jl. Kolonel Masturi RT. 07/ 06 Kampung Keramat Desa Cikahuripan Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat pada Selasa (15/11/2016) telah menambah jumlah korban longsor. Longsor adalah jenis bencana yang paling mematikan sejak tahun 2014, 2015 dan 2016 ini. Berdasarkan data sementara, secara nasional hingga Rabu (16/11/2016) terdapat 487 kejadian longsor yang menyebabkan 161 orang tewas, 88 orang luka, 38.092 orang menderita dan mengungsi dan ribuan rumah rusak.

Kejadian bencana longsor setiap tahun juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat dalam 10 tahun terakhir. Jika pada tahun 2007 terdapat 104 kejadian, kemudian berturut-turut tahun 2008 (112 kejadian), 2009 (238), 2010 (400), 2011 (329), 2012 (291), 2013 (296), 2014 (600) dan 2015 (515). Selama 10 tahun terakhir terdapat 3.372 kejadian longsor di Indonesia yang menimbulkan korban jiwa 1.685 orang tewas, 1.657 jiwa luka-luka, 443.998 jiwa menderita dan mengungsi, dan lebih dari 22.000 rumah rusak akibat longsor.

Korban tewas yang ditimbulkan pun cukup besar yaitu tahun 2007 (93 orang tewas), 2008 (102), 2009 (76), 2010 (266), 2011 (171), 2012 (119), 2013 (190), 2014 (372) dan 2015 (135). Tentu ini bukan angka statistik belaka. Satu korban bencana adalah suatu tragedi dan harus diminimalkan.

Jutaan masyarakat Indonesia terancam dari bencana longsor. Apalagi meningkatnya curah hujan akan meningkatkan pula ancaman bencana longsor. Di Indonesia terdapat 40,9 juta jiwa (17,2% dari penduduk nasional) yang terpapar langsung oleh bahaya longsor sedang-tinggi. Dari total jumlah tersebut terdapat 4,28 juta jiwa balita; 323 ribu jiwa disabilitas, dan 3,2 juta jiwa lansia.

Semua terpapar dari longsor pada saat musim penghujan. Sebagian besar mereka tidak memiliki kemampuan menghindar dan memproteksi dirinya dari bahaya longsor. Bahkan masih banyak masyarakat yang tidak paham antisipasi mengenai longsor. Mitigasi bencana, baik struktural maupun non struktural masih sangat minim sehingga setiap musim penghujan longsor mengancam jiwa dan harta milik masyarakat.

Daerah rawan longsor sesungguhnya sudah dipetakan. Peta skala 1 : 250.000 sudah dipetakan dan dibagikan kepada seluruh Pemda. Bahkan PVMBG Badan Geologi menyusun peta prediksi longsor bulanan sesuai dengan ancaman curah hujan yang akan terjadi. Peta tersebut juga dibagikan ke Pemda dan dapat diunduh di website PVMBG disertai dengan tabel penjelasan daerah-daerah kecamatan yang rawan longsor tinggi, sedang hingga rendah. BNPB juga telah mengembangkan peta risiko bencana longsor yang memuat peta bahaya, kerentanan dan kapasitas. Namun demikian peta tersebut sebagian besar belum menjadi dasar dalam penyusunan dan implementasi rencana tata ruang wilayah.

Implementasi tata ruang berbasis peta rawan longsor masih sangat minim. Banyak permukiman masyarakat yang berkembang di daerah-daerah zona merah, bahkan di bawah lereng perbukitan atau pegunungan yang hampir tegak lurus. Memang daerah-daerah perbukitan dan pegunungan adalah daerah yang subur. Tanah gembur umumnya subur dan menyediakan mata air melimpah. Namun daerah tersebut rawan longsor sehingga harus dibatasi peruntukannya. Penataan ruang adalah upaya yang paling efektif untuk mencegah korban longsor.

Selama 10 tahun terakhir daerah-daerah yang paling banyak terjadi longsor adalah Jawa Tengah (1.126 kejadian), Jawa Barat (858), Jawa Timur (387), Sumatera Barat (149), dan Kalimantan Timur (83). Daerah-daerah lain juga sering terjadi longsor saat hujan deras. Daerah rawan longsor yang perlu memperoleh perhatian serius adalah daerah-daerah pegunungan dan perbukitan yang banyak penduduknya seperti di 1) Bukit Barisan dari Aceh, Sumut, Sumbar, Bengkulu, Sumsel, Lampung; 2) Jawa bagian tengah dan selatan; 3) Bali, NTT, NTB, Maluku dan Papua; dan 4) Sulawesi (hampir sebagian besar semua wilayah dengan topografi pegunungan yang berpotensi longsor dan banjir bandang).

Longsor dapat diantisipasi sebelumnya. Tidak mungkin semua wilayah di Indonesia harus dipasang sistem peringatan dini longsor. Sebab memerlukan ratusan ribu unit dan biaya yang sangat besar. Kuncinya adalah rencana tata ruang wilayah perlu ditegakkan. Sosialisasi dan peningkatan kapasitas pemda dan masyarakat terus ditingkatkan agar masyarakat tangguh menghadapi bencana longsor.

Sutopo Purwo Nugroho
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB
http://www.bnpb.go.id/
Ambon DiREx 2016: Pembukaan TTX, Uji EAS Toolkit Tanggap Darurat


AMBON - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei membuka Ambon Disaster Response Emergency Exercise (DiREx) 2016 - Tabletop Exercise (TTX) di Natsepa, Maluku Tengah, Maluku pada Selasa (15/11).
TTX ini bertujuan untuk menguji perangkat EAS atau EAS Rapid Disaster Response Toolkitpada penerimaan dan pengiriman bantuan kemanusiaan internasional kepada negara yang terdampak bencana. Skenario latihan berlatar belakang bencana gempabumi yang diikuti tsunami berkekuatan 8,7 SR yang menerjang pulau-pulau di Maluku. 

EAS Rapid Disaster Response Toolkit 
merupakan sebuah panduan komprehensif yang telah selesai disusun pada 2015. Panduan ini disusun untuk para pengambil kebijakan baik pada pengiriman dan penerimaan bantuan kemanusiaan internasional. Latihan ini juga memberikan kesempatan untuk menguji ASEAN’s Standard Operating Procedure for Regional Standby Arrangement and Coordination of Joint Disaster Relief and Emergency Response Operations(SASOP), Bab VI tentang Pemanfaatan dan Penggunaan Aset Militer dan Kapasitasnya.

Pada sambutan selamat datang, Gubernur Provinsi Maluku Said Assagaff menyampaikan bahwa Provinsi Maluku termasuk wilayah dengan indeks risiko bencana tinggi. Wilayah yang memiliki 1.340 pulau dan didominasi laut sekitar 92,6% memiliki tantangan dalam karakteristik rentang kendali pemerintahan. Assagaff menyampaikan bahwa provinsi menggunakan strategi pendekatan gugus pulau.
“12 gugus pulau dapat menjadi wilayah mandiri dan mampu memenuhi kebutuhan wilayahnya. Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya. Oleh karena itu pendekatan ini dapat diterapkan dalam penanggulangan bencana, khususnya pada tanggap darurat,” kata Assagaff. 

Gubernur menambahkan bahwa gugus pulau dapat memberikan bantuan secepatnya kepada gugus pulau lain sehingga secara cepat pemerintah dapat hadir secara cepat.
Sementara itu, Willem yang membuka secara resmi pembukaan TTX – Ambon DiREX 2016 menyampaikan bahwa kemitraan dengan Australia pada penanggulangan bencana merupakan refleksi dari kerjasama yang lebih luas antar dua negara.
“Kekuatan kerjasama digarisbawahi melalui kerjasama yang kuat, pada tingkat pemerintahan yang berbeda dan berbagai isu, khususnya penanggulangan bencana,” kata Willem.
TTX yang diselenggarakan 15 – 17 November 2016 ini dihadiri 10 Negara ASEAN dan negara-negara East Asia Summit (EAS) seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, New Zealand, mitra nasional dan internasional, kementerian/lembaga, Pemerintah Provinsi, dan perguruan tinggi. (PHI) 
15 November 2016 11:0 WIB

MoU BNPB dan BPKP untuk Memperkuat Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan

 JAKARTA-Kepala Badan Nasional Penanggulanggan Bencana, Willem Rampangilei menandatangani nota kesepahaman kerjasama antara Badan Nasional Penanggulangan Bencana dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan pada (18/11/2016) bertempat di Gedung BPKP Pusat, Jakarta Timur.                                                                                                                                                        
     Dalam sambutannya, Willem mengatakan, “sebagaimana kita ketahui bahwa negara kita merupakan negara rawan bencana, faktanya ada 160 juta rakyat kita yang tinggal di daerah rawan bencana hutan, 60 juta di daerah rawan banjir, 40 juta di daerah rawan longsor, 4 juta tsunami, 1,1 juta daerah rawan erupsi. Sehingga diperlukan upaya penanggulangan bencana yang komprehensif, hal ini sudah menjadi amanat UU 24 tahun 2007 dan RPJMN 2015-2019 untuk fokus pada penurunan Indeks Rawan Bencana di 136 Kabupaten Kota yang tergolong daerah yang memiliki tingkat rawan bencana tertinggi.
      Selain itu upaya Penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab kita bersama baik pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Kehadiran Pemerintah ditengah masyarakat korban bencana merupakan hal yang sangat berarti bagi penyemangat masyarakat korban bencana untuk dapat bangkit kembali. Peran serta Kementerian/lembaga nasional dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan untuk mendukung upaya yang terintegral dalam pengurangan risiko bencana,pencegahan bencana, tanggap darurat serta rehabilitasi dan rekonstruksi secara berdaya guna dan dapat dipertanggungjawabkan. Peran Pemerintah dalam penanggulangan bencana salah satunya diwujudkan dengan mengucurkan “dana on call” penanggulangan bencana ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), sehingga BPBD dapat mengoptimalkan kekurangan anggaran APBD terkait dana penanggulangan bencana tersebut.               
Untuk itu Nota Kesepahaman Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan BNPB dirancang dalam rangka penguatan tata kelola pemerintah yang baik di lingkungan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dan selanjutnya dapat dibentuk perjanjian kerja sama serta program kegiatan yang konkrit bekerjasama dengan BPKP,”ujar Willem. Sementara itu Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Ardan Adiperdana mengatakan, melalui kerjasama atau kemitraan ini, kita dapat mensinergikan kapasitas serta sumberdaya seiring dengan peningkatan frekuensi, intensitas, dan dampak bencana dalam rangka mewujudkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan dana bantuan bencana. Kita berharap, Nota Kesepahaman yang telah kita tandatangani tidak menjadi "sleeping document", akan tetapi perlu kita tindaklanjuti dengan Perjanjian Kerjasama (PKS) atau tindak lanjut dalam bentuk lainnya.
      Hal ini dimaksudkan agar kerjasama atau kemitraan yang kita bangun memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat,” ujar Ardan. Nota Kesepahaman Kerjasama ini dimaksudkan untuk penguatan tata kelola pemerintahan yang baik di antara BNPB dan BPKP, guna mewujudkan hubungan yang saling menguntungkan dan saling menghormati, dengan berdasarkan pada itikad baik serta berpedoman kepada ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu nota Kesepahaman Kerjasama ini bertujuan memperkuat akuntabilitas pengelolaan keuangan negara dalam rangka peningkatan perbaikan kinerja dan pelayanan publik menuju tata kelola pemerintahan yang baik dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki berdasarkan tugas dan fungsinya.(adi)18 November 2016 14:0 WIB